MAKALAH KEADILAN DI INDONESIA


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang

Sebagaimana kita ketahui bahwa di negara kita masih terdapat disana sini ketidakadilan, baik ditataran pemerintahan, masyarakat dan sekitar kita. Ini terjadi baik karena kesengajaan atau tidak sengaja ini menunjukkan rendahnya kesadaran manusia akan keadilan atau berbuat  adil terhadap sesama makhluk hidup. Di Indonesia ini keadilan masih lemah dalam menegakkan suatu keadilan yang baik dan benar. bentuk-bentuk keadilan di indonesia ini seperti orang yang kuat pasti hidup sedangkan orang yang lemah pasti akan tertindas dan di Indonesia ini jelas bahwa keadilan belum diterapkan dengan baik yang sesuai dengan aturan-aturan hukum yang ada di indonesia. Keadilan di indonesia ini masih lemah dan masih belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang harus di adili dan keadilan di indonesia ini menggunakan keadilan yang sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, bukan menggunakan keadilan yang sesuai dengan hukum islam. Dengan adanya makalah ini penulis berharap kita bisa membahas dan mengembangkan suatu bentuk pengetahuan tentang suatu keadilan di indonesia maupun di negara lain. Sampai sejauh manakah dapat di kembangkan wawasan demokrasi yang utuh bila di pandang dari sudut hukum islam?

Bilamana di negara kita terjadi pemerataan keadilan maka kita yakin tidak akan terjadi protes yang di sertai kekerasan, kemiskinan yang berkepanjangan, perampokan, kelaparan , gizi buruk dan lain-lain. Mengapa hal di atas terjadi karena bisa dikatakan keadilan hanya milik orang kaya dan penguasa. Dari latar di atas penulis akan mencoba  untuk memaparkan keadilan dalam perspektif filsafat islam sehingga di harapkan nantinya dapat meminimalisir ketidakadilan yang terjadi di negara yang mayoritas beragama islam.



1.2  Rumusam masalah
Dari beberapa fenomena ketidakadilan di latar belakang di atas maka, kita dapat rumuskan masalah keadilan dalam perspektif filsafat islam.
1.      Sejauh mana keadilan diterapkan di indonesia?
2.      Bagaimanakah hukum islam tentang bangsa-bangsa membandingkan dirinya dengan hukum internasional kontemporer?
3.      Bagaimanakah pendapat Dr.Drs H. Moh Faishol Hasanuddin S.H M.H tentang keadilan dalam perspektif filsafat islam?
4.      Apa tujuan keadilan rasional?

1.3   Tujuan masalah
2.      Di indonesia ini keadilan masih lemah dan masih belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang harus diadili.

3.      Prof. Majid Khaduri ia mengatakan, Sumber hukum islam tentang bangsa-bangsa segaris dengan kategori-kategori yang didefinisikan oleh para ahli hukum moderen dan Undang-undang Lembaga Keadilan Internasional, yakni persetujuan, kebiasaan, akal (reason) dan kekuasaan.

4.      Menurut beliau keadilan dapat di mengerti sebagai suatu kualitas (sifat) yang inheren dalam diri manusia dan mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang benar yang di tunjukkan dan di tentukan akal budi.

5.      tujuan keadilan rasional adalah mencapai ketinggian di dunia dan di akhirat.






BAB 2
ISI
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”.[1]

Dalam ayat diatas  diarahkan kepada para pemimpin dan penguasa. mereka di minta menjaga amanat dan menjalankan pemerintahan dengan adil. Bila amanat dan keadilan disia-siakan, maka umat akan binasa dan negeri akan hancur.

Ciri utama untuk memiliki kekuasaan politik ialah penerapan syari’at melalui berbagai upaya kerjasama antara umara dan ulama.

Keadilan filosofis adalah keadilan yang di definisikan dan di tentukan pengertiannya oleh para filosof, bukan berdasar wahyu, tetapi akal. Karena itu ia bersifat abadi dan tidak berubah, terlepas dari waktu dan tempat.

Filosof muslim yang pertama mewacanakan keadilan filosofis adalah kindi, ia mengklasifikasi keadilan kedalam 2 kategori yaitu:
1.      Keadilan ilahiah adalah keadilan yang di formulasikan dari akal dan wahyu.
      2. Keadilan natural  (alamiah) adalah keadilan yang bersumber  dari akal semata-mata yang di istilahkan juga dengan keadilan rasional.[2]

Dalam pandangannya keadilan dapat di mengerti sebagai suatu kualitas (sifat) yang inheren dalam diri manusia dan mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang benar yang di tunjukkan dan di tentukan akal budi. Ketidak adilan pada dasarnya di hasilkan oleh kegusaran atau kemarahan, manakala akal budi gagal mengendalikan impuls-impuls yang melampaui batas. Dengan terkendalinya nafsu amarah, manusia biasanya berada di bawah kendali akal budi yang mendorongnya untuk mengerjakan sesuatu yang benar.

Keadilan juga di pandang tidak hanya dari sisi normatif dan teoritis. Ia adalah suatu kebenaran dimana manusia mencapai kemampuan dalam kualitas kehidupan. Karena tujuan filsafat tidak hanya untuk mengetahui keadilan semata, tetapi juga untuk berbuat yang benar, manusia tidak hanya di dorong untuk mengetahui keadilan, tetapi juga  untuk berbuat yang sesuai dengannya. Filsafat mengajarkan kepada kita untuk menghubungkan teori dengan praktik.

Keadilan sebagai sentra dari semua kebajikan yang ada. Seperti kebijaksanaan, keberanian, ketabahan, dan lain-lain. Bukan karena ia adalah satu-satunya di antara kebaikan-kebaikan yang ada, melainkan karena yang terpenting ia adalah instrumen dari keseimbangan dan keselarasan mana kala kebaikan-kebaikan yang lainnya sedang beraktifitas. Meski keadilan identik dengan produk langsung dari rasio, namun pada akhirnya memperoleh inspirasi dari allah yang telah menanamkan akal budi pada diri manusia. Karenanya sejalan dengan dua metodologi itu maka tujuan keadilan rasional adalah mencapai ketinggian di dunia dan di akhirat.[3]

Keadilan filosof tak pelak akan mempunyai implikasi kuat dengan keadilan praktis yang merupakan syarat mutlak bagi ideal seluruh  tatanan masyarakat. Menurut Pluto dan aristoteles tidak ada tatanan politik yang dapat bertahan kecuali kalau di bangun di atas dasar kualitas keunggulan dan kesempurnaan serta keadilan.

Bagi al-farabi, keadilan adalah kebaikan-kebaikan tertinggi yang di upayakan manusia untuk di olah dan di tanam di dalam dirinya dan merupakan pondasi yang di atasnya di tegakkan tatanan politik.[4]

Fungsi seorang penguasa bukan hanya untuk memimpin kota, ia harus mengombinasikan seluruh kekuatan yang ada di tangannya, kekuatan eksekutif, legislatif dan judikatif.

Menurut al-farabi, keadilan rasional adalah suatu kualitas dari kesempurnaan yang hanya dapat di realisasikan.

Menurut Ibnu Rasyd, keadilan adalah kebajikan tertinggi manusia sebagai seorang warga negara, tetapi keadilan bukanlah hanya kebajikan ia adalah jumlah dari semua kebajikan.

Menurut Al-asy’ari, keadilan adalah ukuran yang membedakan perbuatan adil dan zalim atau syariat, semua perbuatan yang di haramkan harus di anggap zalim dan selainnya di anggap adil.

Tentang masalah sumber-sumber hukum, dapat di katakan bahwa suatu kesejajaran (persamaan) resmi yang tampak antara hukum internasional dan hukum islam cenderung untuk mengaburkan perbedaan pokok antara dua aturan normatif itu. Perbedaan pokok itu terletak pada asas yang menjadi dasar masing-masing.

Hukum internasional berkembang pada titik tertentu dalam sejarah, yakni sebagai tanggapan terhadap suatu situasi tertentu dalam bangsa dan negara dengan maksud untuk melembagakan pola tingkah laku yang telah mapan, bukan untuk mencoba memodifikasi atau mengualifikasi tingkah laku tersebut.

Hukum islam adalah suatu keyakinan bahwa hukum yang ada tidak pernah mengalami perkembangan, sebab hukum tersebut berasal dari wahyu dan kebajikan asal-usul ahistoris hukum islam secara teoritis mampu mentransendensikan situasi sejarah yang oleh karenanya tidak mengenal perubahan atau modifikasi.

Dalam hukum islam tidak ada unsur yang bertentangan dengan pluralisme dalam struktur politik hubungan–hubungan internasional kontemporer. Tentang hubungan-hubungan antara negara islam dan negara-negara non-islam, Ibnu Taimiyah mengajukan konsep adanya tingkatan hubungan-hubungan yang normal agar tercipta suasana damai selama tidak ada justifikasi bagi mereka yang mengarah pada suasana yang sebaliknya. Ibnu Taimiyah juga membuka pintu bagi negara-negara islam untuk mengembangkan dan memperluas hubungan dengan negara-negara non- islam melalui berbagai perjanjian atau kesepakatan meskipun tetap harus tunduk pada batas-batas dan aturan-aturan yang berlaku.

Indonesia tengah bergulat dan berusaha mencapai keadaan yang lebih baik, tetapi ada ketidakpastian jaminan hukum dari negara yang dapat memberikan rasa tidak aman kepada masyarakat untuk menjamin bahwa setiap masyarakat dapat mempunyai akses yang memadai untuk menikmati hak-hak dasarnya didalam hukum  menuju kesejahteraan. Sebuah penelitian secara nasional memperlihatkan bahwa 56% masyarakat tidak dapat menunjukkan satu saja contoh hak hukum yang mereka miliki. Angka tersebut meningkat drastis pada kelompok perempuan (66%) dan responden yang tidak memiliki pendidikan formal (97%).[5]

Sebuah laporan yang diluncurkan oleh Commission on Legal Empowerment mengemukakan bahwa empat milyar orang di seluruh dunia berada pada kemiskinan, karena mereka tersisihkan dari pembangunan, khususnya pembangunan hukum.[6] Pembangunan hukum hampir dipastikan gagal untuk memberi akses terhadap keadilan kepada orang miskin.[7] Perspektif dalam melihat “kemiskinan” dan upaya penanggulangannya yang belum tepat, menyebabkan kemiskinan tetap menjadi permasalahan laten.

Instrumen hukum dasar yang berlaku di Indonesia yaitu Undang – Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 telah memberikan kewajiban bagi negara Indonesia untuk memberikan jaminan agar setiap masyarakatnya mendapat pemenuhan hak-hak dasarnya bersamaan dengan keadilan dan kepastian hukum. Hal ini berarti hukum harus ditegakkan oleh pemerintah agar tujuan negara dapat tercapai sekaligus juga memenuhi seluruh kewajiban negara dan memberikan masyarakat hak-hak mereka. Tujuan-tujuan ini dapat dicapai dengan menyelaraskannya dengan tujuan hukum itu sendiri.

Gustav Radbruch (1878-1949), seorang ahli hukum Jerman mengatakan, “Hukum adalah kehendak untuk bersikap adil”. (Recht ist Wille zur Gerechtigkeit). Hukum positif ada untuk mempromosikan nilai-nilai moral, khususnya keadilan. Lainnya menurut teori etis, hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan tidak. Oleh karena itu hukum bertujuan untuk merealisir  atau mewujudkan keadilan.[8]

Hakekat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya oleh suatu norma yang menurut pandangan subyektif melebihi norma-norma lainnya. [9]

Penilaian tentang keadilan ini pada umumnya hanya ditinjau dari satu pihak saja, yaitu pihak yang menerima perlakuan. Misalnya kalau kebijaksanaan pemerintah telah dipertimbangkan masak-masak bahwa hal itu demi kepentingan umum, demi kepentingan orang banyak, tetapi ada warga negara yang tidak terpenuhi kebutuhannya, apakah kebijakasanaan pemerintah itu dapat dinilai tidak adil. Maka keadilan harus dilihat dari dua pihak, yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan.

Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu justitia distributiva dan justitia commutativa.[10] Justitia distibutiva  menuntut setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya, jadi yang dinilai adil adalah apabila setiap orang mendapat haknya secara proporsional dalam hal tertentu. Sedangkan justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya, yang berarti adil ialah apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukannya dan sebagainya. Justitia commutativa ini dijelmakan dalam suatu asas dalam sistem hukum sebagai suatu prinsip yang memberikan setiap orang hak yang sama dan perlakuan yang sama di depan hukum dan perangkatnya, yaitu equality before of the law.

Dalam konsep klasik dan konservatif tentang hukum dikenal adanya doktrin hukum yang otonom, netralitas, dan persamaan kedudukan dalam hukum (equality before of the law). Doktrin tersebut merupakan klaim paling utama dari teori dan ilmu hukum, filsafat hukum dan para ahli hukum. Otonomi berarti hukum terbentuk tanpa adanya pengaruh dari pihak manapun, netralitas maksudnya hukum dianggap tidak berpihak, karena itu ia adil, lalu persamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu entitas tidak membedakan siapapun yang meminta keadilan kepadanya. Doktrin ini telah begitu lama diterima dan melekat di dalam kebudayaan, dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[11]

Dalam prinsip ‘rule of law’, hukum dipercaya berdiri di atas semua golongan, memberi kepastian, hukum dipandang mengandung kebenaran dan keadilan yang sudah pasti. Dalam pemikiran positivisme hukum, dipercaya bahwa satu-satunya hukum yang paling tinggi adalah hukum negara, dan negara adalah satu-satunya institusi yang mendistribusi keadilan kepada segenap warga negara. Prinsip–prinsip ini dijadikan landasan bagi negara sebagai salah satu kewajiban negara yang bertujuan untuk menjamin tidak adanya penyimpangan atas pelaksanaan hukum dalam negara. Oleh karenanya jaminan dilaksanakannya prinsip – prinsip ini dilakukan oleh negara melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang dalam pembentukannya memuat prinsip tersebut. Jaminan atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum, tidak dapat dilepaskan dari ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan tersebut.

Penjaminan oleh negara ini tertuang dalam Konstitusi Republik Indonesia, yaitu di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XA, terutama yang khusus berkaitan dengan hak untuk mendapatkan keadilan, yaitu pasal 28 D, yang menyatakan bahwa, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum”.

Walaupun konstitusi negara telah memberi jaminan dasar bagi perlindungan hak dan kepentingan demi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang dimandatkan kepada pemerintah Indonesia, semangat perlindungan, penguatan, dan pemenuhan hak bagi rakyat Indonesia itu sendiri tidak serta merta dengan sendirinya telah terjawantah dalam berbagai produk peraturan dan kebijakan pemerintah oleh lembaga–lembaga negara di berbagai sektor seperti tanah dan sumber daya alam, ketenagaan kerja, pendidikan, kesehatan, pembangunan ekonomi dan sistem hukum itu sendiri.

Negara bukanlah sumber tunggal dari pesan normatif hukum yang menjadi satu–satunya pelaksana dan pengawas keberlakuan hukum di dalam masyarakat.

Dalam hal ini perspektif ‘sentralisme hukum’ yang menggambarkan alat–alat perlengkapan negara (dan ajaran–ajaran mereka) menempati titik sentral dari kehidupan hukum dan memiliki kedudukan pengawasan yang hirarkis terhadap penata norma lain yang lebih rendah kedudukannya (seperti keluarga, korporasi, dan jaringan bisnis misalnya), harus dikesampingkan.[12] Sama halnya dengan kesehatan yang bukanlah terutama dapat ditemui di rumah sakit–rumah sakit atau pengetahuan yang tidak diperoleh melalui ajaran di sekolah saja, maka keadilan juga bukanlah terutama ditemukan di lembaga – lembaga yang secara formal mendistribusikan keadilan.

Rakyat mengalami keadilan (atau juga ketidakadilan) bukan saja ( atau biasanya) di lembaga–lembaga formal negara, tetapi juga pada lokasi–lokasi kegiatan primer yang berwujud pranata seperti rumah, lingkungan ketetanggaan, institusi pendidikan, tempat kerja, kesepakatan bisnis, dan sebagainya.[13] Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka keadilan oleh hukum yang dibentuk negara menjadi semu.
Masyarakat pada umumnya telah menganggap keadilan melekat pada hukum yang dibentuk oleh negara. Padahal hukum adalah pedang bermata dua. Hukum bisa menjadi sebuah acuan yang paling adil dan paling mengayomi, tapi juga bisa digunakan sebagai alat untuk mendefinisikan kekuasaan dan kepentingan. Sehingga akan ada pihak yang menjadi korban dari hukum yang tidak adil, karena hukum dapat mengklaim kebenaran-kebenaran sampai ranah yang tidak terbatas. Bagaimana hukum akan digunakan, entah untuk tujuan baik atau tidak baik (dalam artian hukum disalah gunakan) adalah tergantung bagaimana hukum dibentuk dan siapa yang memiliki kekuasaan untuk membentuk hukum.[14]

Ketika hukum justru menimbulkan hambatan–hambatan dalam pemenuhan hak dan kepentingan rakyat, maka kemudian dianggap hukum mengalami kegagalan.[15] Hukum dianggap tidak efektif dan memerlukan perubahan oleh karena adanya disparitas antara realitas hukum dan idealnya.

Keadilan yang dipercaya datang dari hukum ternyata tidak menjadi jaminan mutlak bagi masyarakat yang percaya bahwa hukum telah menjamin setiap orang memperoleh hak-hak dasarnya. Dalam prakteknya kemudian hukum tidak mampu menjamin bahwa masyarakat dapat didengar suaranya dalam ruang publik pengambilan keputusan penting dalam bermasyarakat dan bernegara. Hukum pun luput untuk melindungi masyarakat dari kekerasan, kelaparan, bahkan kebodohan.

Sebagian besar hal – hal tersebut tidak mampu diselesaikan oleh hukum, hanya sedikit dalam ranah formal saja hukum memberikan solusi untuk permasalahan hukum yang terjadi, oleh karena itu disebut kegagalan hukum, yang berarti hukum tidak efektif memberi keadilan. Kenyataannya, keadilan di Indonesia dijalankan bukan di ruang sidang pengadilan di kota-kota besar, tetapi di balai desa di penjuru nusantara.[16] Dalam sebuah laporan Justice of the Poor World Bank, disebutkan penyelesaian sengketa terkadang yang dilakukan oleh kepala desa, pemuka adat, maupun tokoh agama yang didasarkan kepada tradisi, bahkan seringkali hanya berdasarkan pertimbangan subyektif para peminpin masyarakat tanpa dasar yang jelas atau tanpa mengacu kepada hukum negara maupun hukun adat.[17] Justru dipertanyakan kenetralan dan objektivitas hukum itu sendiri yang seharusnya bisa menjamin setiap orang berada dalam posisi yang setara dan adil.

Dalam riset yang telah dilakukan terhadap negara berkembang, menunjukkan hasil bahwa meskipun telah dilakukan upaya memperdayakan hukum dan sistem hukum, reformasi hukum khususnya yang ditujukan untuk masyarakat kurang mampu tidak selalu mencapai hasil yang diinginkan.[18]
























BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

            Dari pengertian tentang keadilan telah di himbau di Qs. An-Nisa ayat 58, Hukum dan politik memang sulit di pisahkan agar bisa mencapai sebuah keadilan, keadilan bersifat abadi dan tidak berubah, terlepas dari waktu dan tempat. Keadilan juga di pandang tidak hanya dari sisi normatif dan teoritis. Ia adalah suatu kebenaran dimana manusia mencapai kemampuan dalam kualitas kehidupan seperti kebijaksanaan, keberanian, ketabahan, dan lain-lain. Ibnu Rasyd, keadilan adalah kebajikan tertinggi manusia sebagai seorang warga negara, tetapi keadilan bukanlah hanya kebajikan ia adalah jumlah dari semua kebajikan. Aristoteles, membedakan adanya dua bentuk keadilan yaitu,  Justitia distibutiva  menuntut setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya, jadi yang dinilai adil adalah apabila setiap orang mendapat haknya secara proporsional dalam hal tertentu. Sedangkan justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya, yang berarti adil ialah apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukannya dan sebagainya.

3.2 Saran

Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.

Penulis banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.



[1]  QS.  An-Nisa: 58

2  Ibid, h. 116

3  Teologi op. cit h. 115

[4] Al-Farabi , Fusul al-madani h. 120-121, sebagaimana dalam Ibid. h. 126
5 BAPENAS Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan, Jakarta : 2009, hal. 175.

6  Commission on Legal Empowerment of the Poor (CLEP), Making the Law Work for Everyone 2008 Vol. I, hal. 1.

7  BAPPENAS : 2009, op. cit., hal. 2

8  Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 2003 , hal. 77.

9  Ibid., hal. 77.

10 Ibid
[11]  Umu Hilmy et. al.Penanganan Kasus-Kasus Trafiking Berperspektif Gender Oleh Jaksa dan Hakim, Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang, 2006, hal. 24.

12   T.O. Ihromi ed., Sulistyowati Irianto et al., Antropologi Hukum : Sebuah Bunga Rampai, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003, hal. 115 dalam Keadilan di Berbagai Ruangan (Marc Galanter).

[13]   Ibid, hal. 115.

14 Sulistyowati Irianto,  Mempersoalkan ‘Netralitas’ dan ‘Objektivitas’ Hukum : Sebuah Pengalaman Perempuan, dimuat dalam Jurnal Perempuan Edisi 45 Tahun 2005, hal. 32.

15  Istilah ini dimaksudkan bukan karena hukum tidak mampu berjalan atau tidak bisa dijalankan, tetapi dalam pembentukan dan penerapannya, hukum telah menimbulkan akibat lain yang justru melenceng dari tujuan hukum itu sendiri. Hukum justru tidak mampu mengatasi hal yang seharusnya bisa diatasi dengan pembentukan hukum itu sendiri. Faktor-faktornya antara lain adalah penyalahagunaan kekuasaan dalam pembentukan hukum sehingga produknya menjadi sarat kepentingan, yang malah membuat hukum tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

[16] Justice for the Poor – World Bank,  Menemukan Titik keseimbangan : Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia,  Mei 2009, hal. vii.

17  Ibid, hal. vii.

[18]  Commission on Legal Empowerment of the Poor (CLEP), op. cit., hal. 1

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.